Saya tak bisa memungkiri kalau pernah menyogok polisi.
Alasannya karena malas menghadiri urusan pengadilan, karena
pelanggaran lalu lintas. Ya kadang saya salah melanggar marka jalan,
atau berjalan di bahu jalan tol. Tapi kadang pula saya merasa tidak
rela, menganggap polisi hanya menjebak. Saya merasa tidak melanggar
lampu merah, tapi masih disemprit. Selain itu, saya berpikir, polisi
juga mencari cari kesalahan. Jika dia bisa mencegah orang memasuki
jalan itu, kenapa dia tidak mencoba mencegah. Bukannya malah menunggu di
balik tikungan jalan.
Saya juga mengaku salah, memberikan uang pelicin, ketika membuat perpanjangan SIM di polres. Tentu saja melalui calo calo yang berkeliaran dan menjadi perpanjangan tangan oknum polisi dibalik pengurusan SIM.
Ujung ujungnya adalah masalah kesejahteraan Polisi.
Apalagi dulu ketika Polisi masih menjadi bagian ABRI, mereka mendapat alokasi budget
yang paling rendah. Waktu SMA, saya melihat tentara pengawal Presiden
Soeharto, menendang seorang Polisi hingga terjengkang, karena dianggap
menghalangi jalan.
Setelah peristiwa Trisakti, Di rumah dinasnya, Jenderal Wiranto
membentak ngamuk ngamuk ke Kapolri Dibyo Widodo. “ Lu serahin anggota
“. Polisi jadi angkatan paria, diantara angkatan lainnya.
Sejak kecil istilah ‘ prit jigo ‘ sudah jadi anekdot untuk oknum oknum
Polisi. Konon juga razia jalanan akan semakin sering menjelang hari hari
besar seperti Lebaran. Tragis fenomena ini menjadi sebuah prejudice.
Sampai sekarangpun, bisik bisik tentang persekongkolan Polisi dengan bandar judi, cukong illegal logging,
bandar narkoba, penyelundup dan berbagai macam praktek praktek korupsi.
Saya memiliki teman seorang Komisaris Polisi. Masih muda dan tinggal
di pedalaman Sumatera Selatan yang banyak berhubungan dengan Hak
pengelolaan hutan, pertambangan. Sementara istrinya dan anak anaknya
tinggal di Apartemen mahal di Jakarta. Saya kadang suka berpikir, berapa gaji dia, sehingga bisa membelikan mobil mewah untuk istrinya.
Ini
baru perwira menengah. Bagaimana dengan Jenderal jenderalnya ? Kisruh
rekening gendut perwira Polisi, sekarang simulator yang menyeret Irjen
Djoko Susilo menunjukan betapa Korps Kepolisian jadi bancaan. Saya jadi
ingat wawancara Gus Dur setelah dia lengser dengan Greg Barton.
Disebutkan bahwa Kapolri Surojo Bimantoro sebagai perwira Polisi yang
paling korup pada saat itu. Tentu kita juga masih ingat, mantan
Kapolri lainnya, Rusdihardjo yang akhirnya menjadi terpidana kasus
korupsi dana TKI di KBRI di Malaysia.
Barang kali cuma dua Jenderal Polisi yang tidak perduli dengan uang.
Pertama RS Soekanto dan Hoegeng Imam Santoso. Kapolri Soekanto seorang
penganut aliran Kebatinan diturunkan Bung Karno karena desakan perwira
perwira Polisi lainnya yang tidak suka Kapolrinya lebih banyak mengurusi
kebatinan daripada Kepolisian. Sementara Hoegeng dengan track record
integritas dan kejujurannya.
Ada suatu masa ketika Hoegeng mendapat telpon dari istrinya, Bu Mery. “
Mas, ada tamu datang ke rumah yang meninggalkan banyak hadiah “.
Hoegeng bergegas pulang, dan menemukan sebuah peti besar dari kayu
berisi mesin cuci, alat alat elektronik sampai pakaian pakaian mahal.
Banyak sekali. Kemudian oleh Hoegeng, peti itu ditutup dan dikembalikan
ke alamat pengirimnya.
Pada masa kepemimpinannya, Hoegeng kerap dipusingkan oleh rekan rekan
koleganya yang bermain dengan uang panas. Bahkan beberapa jenderal
jenderal Polisi meminta agar ia menghentikan penyidikan seorang
tersangka wanita. Alasannya bahwa wanita itu sudah banyak membantu dalam
hal materi ke Korps Polisi !
Belum lagi ia harus terbang ke Papua ( dulu Irian Jaya ), untuk
menenangkan pemberontakan polisi polisi asli orang Irian yang berpangkat
rendah. Di Ennarotali, Irian. Pemberontakan ini dipicu karena, pejabat
– termasuk pimpinan polisi lokal – yang bukan warga asli Irian, justru
mengkorup bahan pakaian dan kebutuhan pokok lainnya yang mestinya
dibagikan kepada rakyat di sana.
Setelah Polisi disapih dipisahkan dari struktur ABRI. Ia menjadi
lembaga otonom yang bertanggung jawab ke Presiden. Anggaran melimpah,
dana dari Amerika digelontorkan untuk reformasi dan pelatihan Polisi.
Masalah keamanan dan teritorial yang tadinya menjadi monopoli tentara,
tiba tiba masuk ke ruang lingkup Polisi. Jadilah Korps ini menjadi
incaran cukong. Jaman berubah. Kini Akademi Kepolisian jadi salah satu
rujukan favourite. Bahkan anak anak Jenderal Angkatan Daratpun lebih
memilih masuk Akpol daripada Akmil.
Konglomerat pemilik modal tidak lagi melulu membina perwira perwira
Angkatan Darat. Sebuah karaoke dan klub kelas atas di Hotel Borobudur,
Jakarta kerap berisi perwira perwira menengah Polisi melepas lelah dan
bernyanyi nyanyi. “ Sudah biasa Mas, Boss selalu mengundang mereka ke
sini “. Bisik sang manajer klub.
Secara psikologi, Kepolisian ingin menunjukan Korps yang sejajar
dengan TNI. Hingga mengundang kecemburuan Angkatan angkatan lain. Di
daerah daerah, Brimob tidak takut lagi untuk bentrok senjata dengan
Angkatan Darat. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi jaman orba.
Polisi jadi lebih arogan.. Kalau dulu pemeriksaan di markas tentara
bisa dengan metode menaruh jari kaki tersangka di bawah kursi penyidik
yang mengetik berkas acara. Ditataran bawah, polisi tak mau kalah.
Pemeriksaaan mahasiswa Universitas Pamulang yang terlibat bentrokan
harus memakai bumbu kekerasan. Dipukul, disiksa. Jangan heran kalau
model Novie Amalia harus dibugili, dilecehkan dalam markas Polisi.
Sementara di tataran elit. Para Jenderal sibuk menyerang mereka yang mengusik usik ‘ ketentraman ‘ dengan alasan l’esprit de corps.
Kasus rekening gendut menguap hilang begitu saja. Sekarang, walau sudah
ada perintah Presiden agar KPK menjadi penyidik tunggal dalam kasus
Simulator. Polisi justru menetapkan tersangka baru. Komisaris Legimo
Puji Sumarto sebagai orang yang dituduh memalsukan tanda tangan Irjen
Djoko Susilo. Gampang ditebak, ini bisa jadi skenario penyelamatan
perwira tinggi.
Kini kembali kepada rakyat dan pembuat kebijakan. Apa yang akan kita
lakukan kepada Korps Kepolisian ini ? Ada yang meminta ditaruh di bawah
Departemen Dalam Negeri, sehingga kontrol dilakukan oleh Gubernur atau
Kepala Daerah. Ada juga suara yang meminta reformasi total seandainya
masih tetap dibawah Presiden.
Kebosanan rakyat melihat Polisi arogan dan korup hampir sampai titik
didih. Ucapan Wakapolri, Jangan munafik gaji polisi tidak cukup. Jelas
mengusik perasaan. Terlebih dengan kedudukannya menjadi pembina
penggemar motor gede milik orang orang kaya.
Saya tiba tiba teringat ucapan Kapolri Hoegeng. Bahwa ada 2 citra
yang harus ditegakan pimpinan Kepolisian secara bersamaan. Yakni, citra
diri Polisi terhadap dirinya sendiri, kehormatannya yang berkaitan
dengan citra sosial polisi sesuai dengan hakikat sosial dirinya di
masyarakat.
Kalau sudah begini siapa yang akan mengatakan, apakah Polisi jaman sekarang masih memiliki kehormatan itu ?