Jumat, 19 Desember 2014

POLISI VS POLISI



JAKARTA - Konflik aparat di Batam, Kepulauan Riau, seperti tak ada habisnya. Belum tuntas dua kasus bentrokan Brimob dengan anggota TNI Yonif Tuah Sakti, kini bentrok terjadi lagi pada Rabu (17/12) dini hari kemarin. Kali ini, bentrok terjadi antara oknum Polri melawan oknum Polri.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengharapkan Mabes Polri bertindak tegas menyikapi kasus ini. Seluruh anggota Polri yang terlibat bentrokan harus dipecat dan pimpinan kepolisian di Kepri dicopot dari jabatannya.

"IPW menilai apa yang terjadi di Batam adalah gambaran betapa lemahnya pengawasan atasan terhadap bawahan," kata Neta dalam keterangan persnya, Kamis (18/12).

Ia menambahkan bentrokan itu menunjukkan sikap arogan, superioritas, dan ketidakpedulian anggota Polri yang seharusnya menciptakan rasa aman bagi publik.

Bentrokan itu menjadi teror baru bagi warga Batam di tengah belum tuntasnya kasus bentrokan TNI-Polri beberapa hari lalu.

Menurut Neta, dalam bentrokan antar anggota Polda versus Polairud itu terlihat mereka menenteng senjata. Lima orang luka dan sejumlah tempat dihancurkan dalam bentrokan ini.

Peristiwa ini menunjukkan anggota Polri tersebut tidak peduli dengan situasi psikologis warga Batam yang masih trauma pascabentrokan TNI-Polri.

"Elit-elit Polri tidak cukup hanya minta maaf dalam kasus ini. Tapi harus memaparkan kasus ini secara transparan, mengganti semua kerusakan, mengganti biaya pengobatan korban, memecat semua polisi yang terlibat, dan mencopot pimpinan kepolisian di Kepri," jelas Neta.

Dia mengatakan selama ini elit Polri cenderung melindungi anggotanya yang terlibat tindak pidana. Anggota Polri yang melakukan pengeboman Wisma Bhayangkari Jakarta misalnya, tidak dipecat dan masih berkarir di Polri. Begitu juga Kapolsek di Jabar yang terlibat kasus narkoba hanya dimutasi ke Papua.

"Aksi melindungi ini sangat tidak mendidik dan tidak akan membuat efek jera serta tidak melahirkan keteladanan," papar dia.

Neta mengatakan sikap-sikap elit Polri inilah yang membuat jajaran bawah kepolisian sering bertindak semaunya termasuk doyan bentrok seperti di Batam.

"Sikap negatif elit Polri ini perlu direvolusi mental agar jajaran bawahnya tidak bertindak semaunya," tuntas Neta. (boy/jpnn)

Bentrok sesama polisi



JAKARTA - Kapolri Jenderal Sutarman membantah bentrokan di diskotek M-One Pub, Batam, Rabu (17/12) melibatkan sesama oknum polisi dari Polda Kepulauan Riau kontra Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Mabes Polri. Menurutnya, yang terjadi adalah kericuhan antara oknum Polairud dengan masyarakat.

"Itu bukan antara anggota Polri. Tapi, antara masyarakat dengan Polairud. Saya kira sama-sama di dalam tempat hiburan," kata Sutarman saat ditemui usai menghadiri sebuah acara di Jakarta Barat, Jumat (19/12).


Meski membantah, Sutarman tetap akan memproses anggotanya yang terlibat bentrok tersebut. Apalagi, katanya, anggota Polri tidak boleh berada di tempat hiburan malam kalau bukan karena tugas.


"Tidak boleh kalau tidak melaksanakan tugas. Polair ya tugasnya di air, bukan diskotek," ungkap Sutarman.


Sebelumnya, Kadiv Humas Polri, Irjen (Pol) Ronny F Sompie, mengatakan Kapolri telah memerintahkan Kapolda Kepri untuk menindak tegas semua yang terlibat dalam bentrok itu. Menurutnya, oknum polisi yang terlibat perkelahian itu harus dihukum.


“Kapolri telah memerintahkan Kapolda Kepri agar semua yang terlibat ditindak. Tentunya dengan pembuktian yuridis melalui penegakan hukum secara pidana maupun kode etik profesi,” kata Ronny kepada JPNN di Jakarta, Kamis (18/12). (boy/jpnn)

Selasa, 09 Desember 2014

Polisi Demo Lepas Seragam di Depan Istana Merdeka



VIVAnewsBrigadir Polisi Kumala Tua Aritonang, anggota jajaran Direktorat Narkoba Polda Bengkulu, melakukan aksi unjuk rasa dengan melepas seragam dinasnya di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa 9 Desember 2014.




Dia menuntut agar mantan atasannya eks Kapolres Seluma, AKBP Parhorian Lumbangaol, agar diproses secara hukum lantaran telah melakukan pemerasan terhadap dirinya hingga Rp20 miliar dalam sebuah kerjasama bisnis.

"Ini tentang pemerasan, pengancaman, penipuan, dan penggelapan rumah saya, yang rumah itu didapat dari warisan istri saya. Jadi saya dan istri sudah lapor ke Mabes Polri dan Polda Bengkulu. Saya berharap kasus ini jangan dilimpahkan ke Polda Bengkulu, tetapi masih juga dilimpahkan, jadi kami sangat kecewa, apalagi pimpinan polri hanya mendengar masukan dari bawahan, tidak mendengar langsung

dari saya sendiri," ungkap Kumala Tua kepada VIVAnews.

Menurutnya, peristiwa ini bermula pada tahun 2009. Saat itu atasannya AKBP Parhorian Lumbangaol mengajak istrinya, Junita Mardaleni, yang merupakan pengusaha di bidang properti untuk bekerjasama.


Awalnya, atasannya ini memberikan dana sebesar Rp30 juta, dan kerjasama pertamanya sukses. Uang saat itu berhasil dikembalikan. Setelah itu, ia kembali melakukan kerjasama dengan pinjaman dana lebih besar, yakni Rp800 juta. Namun ternyata gagal. Sementara atasannya itu menagih uang pinjamannya dengan bunga 10-15 persen.

"Saya ingin membuat kasus ini nasional, kalau memang dianggap saya berpakaian dinas memalukan polisi, saya siap menerima sanksi apapun," ucapnya.

"Jadi dilihatnya saya ada usaha dia mulai ngusili saya, pokoknya dia itu rentenir, saya akhirnya nggak tahan juga. Saya sangat berharap dapat bertemu dengan dengan presiden atau kapolri. Kalau yang mewakili, saya nggak yakin, karena sudah sering saya ketemu," tambahnya.

Dalam aksinya Kumala tak sendiri, ia rupanya dibantu LSM Gerakan Peduli Sesama.

Sebelumnya anggota kepolisian ini juga telah melakukan aksi unjukrasa di Bundaran HI, senayan, Jakarta Pusat, Senin kemarin, 8 Desember 2014. "Kalau mau kaya jangan jadi polisi dong," tutupnya dengan kesal.


Laporan: Fikri Halim/Vivanews

Kamis, 04 Desember 2014

Pengawal Kapolda Metro Ribut dengan Paspampres Saat Jokowi Beri Arahan di Semarang



Jakarta - Insiden salah paham berujung cekcok terjadi antara pengawal Kapolda Metro Iptu Reza Fahlevi dengan perwira Paspampres. Peristiwa ini terjadi saat Presiden Jokowi memberi pengarahan di depan Kapolda dan Kapolres di Semarang pada Selasa (2/12).

Soal insiden ini menjadi ramai karena menyebar via broadcast message. Banyak yang membicarakan soal kebenaran insiden cekcok itu. Broadcast itu menyebar massif siang ini. Entah siapa yang memulai menyebarkannya.

Saat diklarifikasi soal insiden itu, Koordinator Staf Pribadi Kapolda Metro Jaya, AKBP Agung Marlianto yang juga atasan Iptu Reza, membenarkan adanya insiden tersebut. Agung mengaku melihat anak buahnya dipukul oleh perwira Paspampres tersebut.

"Kami sudah melaporkan insiden tersebut kepada Pomdam IV Diponegoro, sedang dalam penyelidikan Pomdam. Kami percayakan prosenya kepada Pomdam," ujar Agung saat dikonfirmasi, Kamis (4/12/2014).

Agung menceritakan awal mulai insiden itu versi dia. Menurutnya, semua berawal ketika anggotanya berada di Gedung Cendekia Akpol, saat Jokowi memberikan pengarahan. Reza yang saat itu mengenakan baju batik dengan lencana Polri di dada kirinya, ditegur oleh perwira Paspampres berpangkat kolonel.

"Beliau bertanya ke Reza, kamu Humas ya? Dipikir kami sipil. Dijawab Reza, 'bukan, saya Staf Spripim', lalu disuruh keluar," kata Agung.

Namun insiden di dalam berlanjut di luar gedung. Reza dihampiri dan ditegur. Dalam broadcast message yang beredar disebut membawa senjata api. Tapi Agung menyampaikan, sama sekali anak buahnya itu tidak membawa senjata api. Peneguran terjadi karena anak buahnya disangka Humas
 
"Kami tahu aturan itu, SOP-nya kami tahu kalau Ring 1 Waskita (pengamanan presiden) tidak boleh ada yang bawa senjata. Kami sudah paham aturan itu karena kami juga sering dampingi Kapolda kalau Pam Waskita," tegas Agung.

Rupanya, teguran dari perwira Paspampres itu kemudian berujung pada perdebatan. Agung saat itu juga menengahi perdebatan anggotanya untuk menenangkan situasi. Tetapi akhirnya Agung dan Reza diusir dari dalam ruangan.

"Di luar baru terjadi pemukulan tersebut. Reza dipukul di bagian dadanya sebanyak dua kali," imbuhnya.

Reza sendiri saat itu telah divisum dan insiden tersebut telah dilaporkan ke Pomdam V Diponegoro. "Saya hanya meminta keadilan. Yang dipukul itu perwira," pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan belum ada keterangan dari Paspampres. Sementara Denpom Diponegoro yang dikonfirmasi tengah rapat.

Jumat, 28 November 2014

Menteri Pertahanan: Di Seluruh Dunia, Polisi di Bawah Kementerian



BOGOR, KOMPAS.com — Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu membantah telah mengusulkan agar Polri berada di bawah kementerian. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu mengaku hanya berusaha membandingkan TNI yang sudah berada di bawah Kementerian Pertahanan dan contoh kasus di negara lain, di mana Polri juga di bawah kementerian.

"Itu salah kemarin. Jadi, begini, kalau TNI kan sudah ada (di bawah) Kemenhan. Saya bilang kemarin itu, lambat atau cepat, polisi nanti akan di bawah kementerian juga karena di seluruh dunia sudah begitu," kata Ryamizard di Istana Bogor, Jumat (28/11/2014).

Namun, Ryamizard menuturkan, dia tak berwenang untuk menilai kementerian apa yang cocok untuk membawahi Polri. Menurut dia, itu adalah kewenangan Presiden Joko Widodo.

Selama ini, Polri berada langsung di bawah presiden. Hal ini, disebut Ryamizard, akan cukup merepotkan presiden.

"Presiden itu repot loh, banyak urusannya. Kayak dulu tentara di bawah presiden karena panglima tertinggi itu presiden. Tapi, kalau ada dualisme, masih ada menhan, membantu. Tidak bisa presiden sekarang urusin polisi, repot dia," ujar Ryamizard.

Meski menilai Polri lebih tepat berada di kementerian, Ryamizard mengaku belum mengusulkan secara resmi hal itu kepada Presiden Jokowi. Kementerian Pertahanan, kata dia, bisa juga membawahi Polri. "Semua menteri sebenarnya bisa kayak kemarin di Batam kan saya langsung kumpulkan perwira-perwira Polri dan juga polisi agar itu tidak terjadi lagi," kata dia.

Sebelumnya, Sekretaris Negara Andi Widjajanto juga membandingkan dengan negara-negara lain, di mana Polri berada di bawah kementerian. Namun, dia mengungkapkan pemerintah masih harus mempertimbangkan reformasi keamanan yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1999 di mana ada pemisahan TNI dan Polri dan amanat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian yang secara eksplisit menempatkan Polri di bawah presiden.

Andi mengaku masih belum mengetahui apakah Polri akan ditempatkan di bawah kementerian. Apabila terjadi, dia memastikan Polri tidak akan berada di bawah Kementerian Pertahanan.

"Yang pasti tidak mungkin di bawah Kemenhan karena salah satu misi reformasi adalah memisahkan TNI dan Polri. Jadi, tidak mungkin Kemenhan yang orientasinya lebih banyak militer, membawahi Polri yang karakternya sipil," ucap dia.

Sumber :http://nasional.kompas.com/read/2014/11/28/1344536/Menteri.Pertahanan.Di.Seluruh.Dunia.Polisi.di.Bawah.Kementerian

Kamis, 27 November 2014

Wajah Polisi

 
Saya tak bisa memungkiri kalau pernah menyogok polisi.  Alasannya karena malas menghadiri urusan pengadilan, karena pelanggaran lalu lintas. Ya kadang saya salah melanggar marka jalan, atau berjalan di bahu jalan tol. Tapi kadang pula saya merasa  tidak rela, menganggap polisi hanya menjebak. Saya merasa tidak melanggar lampu merah, tapi masih disemprit.  Selain itu, saya berpikir, polisi juga mencari cari kesalahan.  Jika dia bisa mencegah orang memasuki jalan itu, kenapa dia tidak mencoba mencegah. Bukannya malah menunggu di balik tikungan jalan.

Saya juga mengaku salah, memberikan uang pelicin, ketika membuat perpanjangan SIM di polres. Tentu saja melalui calo calo yang berkeliaran dan menjadi perpanjangan tangan oknum polisi dibalik pengurusan SIM.
Ujung ujungnya adalah masalah kesejahteraan Polisi. 
Apalagi dulu ketika Polisi masih menjadi bagian ABRI, mereka mendapat alokasi budget yang paling rendah. Waktu SMA, saya melihat tentara pengawal Presiden Soeharto, menendang seorang Polisi hingga terjengkang, karena dianggap menghalangi jalan.
 
Setelah peristiwa Trisakti, Di rumah dinasnya, Jenderal Wiranto membentak ngamuk ngamuk ke Kapolri Dibyo Widodo. “ Lu serahin anggota “.  Polisi jadi angkatan paria, diantara angkatan lainnya.
Sejak kecil istilah ‘ prit jigo ‘ sudah jadi anekdot untuk oknum oknum Polisi. Konon juga razia jalanan akan semakin sering menjelang hari hari besar seperti Lebaran.  Tragis fenomena ini menjadi sebuah prejudice.

Sampai sekarangpun, bisik bisik tentang persekongkolan Polisi dengan bandar judi, cukong illegal logging, bandar narkoba, penyelundup dan berbagai macam praktek praktek korupsi.   Saya memiliki teman seorang Komisaris Polisi. Masih muda dan tinggal di pedalaman Sumatera Selatan yang banyak berhubungan dengan Hak pengelolaan hutan, pertambangan.  Sementara istrinya dan anak anaknya tinggal di Apartemen mahal di Jakarta. Saya kadang suka berpikir, berapa gaji dia, sehingga bisa membelikan mobil mewah untuk istrinya.
 
Ini baru perwira menengah. Bagaimana dengan Jenderal jenderalnya ?  Kisruh rekening gendut perwira Polisi, sekarang simulator yang menyeret Irjen Djoko Susilo menunjukan betapa Korps Kepolisian jadi bancaan. Saya jadi ingat wawancara Gus Dur setelah dia lengser dengan Greg Barton. Disebutkan bahwa Kapolri Surojo Bimantoro sebagai perwira Polisi yang paling korup pada saat itu.   Tentu kita juga masih ingat, mantan Kapolri lainnya, Rusdihardjo yang akhirnya menjadi terpidana kasus korupsi dana TKI di KBRI  di Malaysia.

Barang kali cuma dua Jenderal Polisi yang tidak perduli dengan uang. Pertama RS Soekanto dan Hoegeng Imam Santoso.  Kapolri Soekanto seorang penganut aliran Kebatinan diturunkan Bung Karno karena desakan perwira perwira Polisi lainnya yang tidak suka Kapolrinya lebih banyak mengurusi kebatinan daripada Kepolisian.  Sementara Hoegeng dengan track record integritas dan kejujurannya.
Ada suatu masa ketika Hoegeng  mendapat telpon dari istrinya, Bu Mery. “ Mas, ada tamu datang ke rumah yang meninggalkan banyak hadiah “.
 
Hoegeng bergegas pulang, dan menemukan sebuah peti besar dari kayu berisi mesin cuci, alat alat elektronik sampai pakaian pakaian mahal. Banyak sekali.  Kemudian oleh Hoegeng, peti itu ditutup dan dikembalikan ke alamat pengirimnya.

Pada masa kepemimpinannya, Hoegeng kerap dipusingkan oleh rekan rekan koleganya yang bermain dengan uang panas.  Bahkan beberapa jenderal jenderal Polisi meminta agar ia menghentikan penyidikan seorang tersangka wanita. Alasannya bahwa wanita itu sudah banyak membantu dalam hal materi ke Korps Polisi !
 
Belum lagi ia harus terbang ke Papua ( dulu Irian Jaya ), untuk menenangkan pemberontakan polisi polisi asli orang Irian yang berpangkat rendah. Di Ennarotali, Irian.  Pemberontakan ini dipicu karena, pejabat – termasuk pimpinan polisi lokal – yang bukan warga asli Irian, justru mengkorup bahan pakaian dan kebutuhan pokok lainnya yang mestinya dibagikan kepada rakyat di sana.

Setelah Polisi disapih dipisahkan dari struktur ABRI. Ia menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab ke Presiden.  Anggaran melimpah, dana dari Amerika digelontorkan untuk reformasi dan pelatihan Polisi.   Masalah keamanan dan teritorial yang tadinya menjadi monopoli tentara, tiba tiba masuk ke ruang lingkup Polisi.  Jadilah Korps ini menjadi incaran cukong.  Jaman berubah. Kini Akademi Kepolisian jadi salah satu rujukan favourite. Bahkan anak anak Jenderal Angkatan Daratpun lebih memilih masuk Akpol daripada Akmil.
 
Konglomerat pemilik modal tidak lagi melulu membina perwira perwira Angkatan Darat.   Sebuah karaoke dan klub kelas atas di Hotel Borobudur, Jakarta kerap berisi perwira perwira menengah Polisi melepas lelah dan bernyanyi nyanyi.  “ Sudah biasa Mas, Boss selalu mengundang mereka ke sini “. Bisik sang manajer klub.

Secara psikologi, Kepolisian ingin menunjukan Korps yang sejajar dengan TNI. Hingga mengundang kecemburuan Angkatan angkatan lain.  Di daerah daerah, Brimob tidak takut lagi untuk bentrok senjata dengan Angkatan Darat. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi jaman orba.
 
Polisi jadi lebih arogan..  Kalau dulu pemeriksaan di markas tentara bisa dengan metode menaruh jari kaki tersangka di bawah kursi penyidik yang mengetik berkas acara.  Ditataran bawah, polisi tak mau kalah. Pemeriksaaan mahasiswa  Universitas Pamulang yang terlibat bentrokan harus memakai bumbu kekerasan. Dipukul, disiksa.  Jangan heran kalau model Novie Amalia harus dibugili, dilecehkan dalam markas Polisi.
Sementara di tataran elit.  Para Jenderal sibuk menyerang mereka yang mengusik usik ‘ ketentraman ‘ dengan alasan l’esprit de corps.   Kasus rekening gendut menguap hilang begitu saja. Sekarang, walau sudah ada perintah Presiden agar KPK menjadi penyidik tunggal dalam kasus Simulator.  Polisi justru menetapkan tersangka baru. Komisaris Legimo Puji Sumarto sebagai orang yang dituduh memalsukan tanda tangan Irjen Djoko Susilo.  Gampang ditebak, ini bisa jadi skenario penyelamatan perwira tinggi.

Kini kembali kepada rakyat dan pembuat kebijakan.  Apa yang akan kita lakukan kepada Korps Kepolisian ini ? Ada yang meminta ditaruh di bawah Departemen Dalam Negeri, sehingga kontrol dilakukan oleh Gubernur atau Kepala Daerah.   Ada juga suara yang  meminta reformasi total seandainya masih tetap dibawah Presiden.
 
Kebosanan rakyat melihat Polisi arogan dan korup hampir sampai titik didih. Ucapan Wakapolri, Jangan munafik gaji polisi tidak cukup. Jelas mengusik perasaan. Terlebih dengan kedudukannya menjadi pembina penggemar motor gede milik orang orang kaya.

Saya tiba tiba teringat ucapan Kapolri Hoegeng.  Bahwa ada 2 citra yang harus ditegakan pimpinan Kepolisian secara bersamaan. Yakni, citra diri Polisi terhadap dirinya sendiri, kehormatannya yang berkaitan dengan citra sosial polisi sesuai dengan hakikat sosial dirinya di masyarakat.
Kalau sudah begini siapa yang akan mengatakan, apakah Polisi jaman sekarang masih memiliki kehormatan itu ?

Aksi Brutal Polisi di Pakan Baru Riau

Aksi brutal yang dilakukan kepolisian yang menyerang sejumlah mahasiswa di dalam Mushalla Assyakirin
RRI Kota Pekanbaru, menggunakan sepatu di dalam rumah ibadah, merupakan penistaan agama dan kepolisian didesak minta maaf.

Kabar dan Gambar Mahasiswa yang di serang polisi sampai ke Musholla di Pekan Baru“Aparat arogansi itu, apa lagi di dalam rumah ibadah menggunakan sepatu. Harusnya menghormati rumah ibadah, presiden saja masuk masjid buka sepatu. Kita minta agar aparat minta maaf secara terbuka kepada khalayak,” ungkap Ketua Umum MUI Propinsi Riau Prof Dr H Mahdini MA, saat dikonfirmasi melalui selulernya, Rabu (26/11/2014).

Majelis Ulama Indonesia Provinsi Riau, sangat menyayangkan sikap arogansi aparat kepolisian yang berujung kepada penistaan terhadap Agama Islam. Menurut Mahdini, pihaknya akan menyurati kepolisian daerah Riau untuk mempertanyakan hal tersebut.

Sebab, menurut Mahdini, aksi penertiban terhadap mahasiswa tersebut tentunya di bawah satu komando. Maka pihak MUI akan mempertanyakan langsung kepada Polda Riau ataupun Polresta Pekanbaru.

“Sepatu tak layak masuk ke rumah ibadah, aparat harus minta maaf kepada umat Islam secara terbuka. Kita mengecam hal ini jangan sampai terulang lagi,” ujarnya.

Seharusnya, sebut Mahdini, polisi membuka sepatu sebelum masuk ke dalam mushalla memanggil satu persatu mahasiswa untuk berbincang di luar mushalla. Namun, karena sikap arogan membabi buta, polisi menyerang mahasiswa hingga ke dalam mushalla tanpa membuka sepatu.

“Tidak mungkinlah rumah ibadah diinjak-injak dengan sepatu, saya tidak menduga dia agama lain, mungkin dia agama Islam, maka dia dosa besar. Dia tak memahami makna rumah ibadah. Maka di samping tobat, kita minta dia sampaikan maaf kepada khalayak, sampaikan secara terbuka,” desaknya.

Penyerangan mahasiswa oleh polisi ini terjadi Selasa (25/11/2014) sore kemarin, saat mahasiswa yang melakukan aksi demo di RRI dibubarkan paksa oleh aparat polisi karena dinilai tidak memiliki izin.

Karena ketakutan banyaknya mahasiswa yang dipukuli polisi, maka sebagian mahasiswa berlindung di dalam mushalla yang ada di samping Kantor RRI. Ternyata pihak polisi tetap mengejar mahasiswa hingga masuk mushalla tanpa menanggalkan sepatu menginjak-injak lantai mushalla tempat ibadah.

Atas insiden ini, selain puluhan mahasiswa terluka tindak brutal polisi yang menerobos masuk ke dalam tempat suci tersebut lengkap dengan sepatu juga menyebabkan lemari kecil tempat menyimpan sajadah dan Al Qur’an rusak.

Kabar dan gambar koran pekanbaru pos yang memberitakan tentang kebrutalan polisi di musholla

Khalifah

Pengertian Khilafah dan Khalifah

 

Khilafah dalam terminology politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul Saw. dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul Muslimin.
Khalifah dan khilafah itu hanya terwujud bila :
  1. Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam sedunia. Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan jalan kudeta, sistem demokrasi atau kerajaan (warisan).
  2. Adanya wilayah yang menjadi tanah air (wathan) yang dikuasai penuh oleh umat Islam.
  3. Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua undang-undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang bersumberkan dan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. seperti undang-undang pidana, perdata, ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan seterusnya.
  4. Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk pada Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam).
  5. Sistem Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi atau tanah air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula berdasarkan kepentingan pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan serta tegaknya kalimat Allah (Islam) di atas bumi. Oleh sebab itu, Imam Al-Mawardi menyebutkan dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah” bahwa objek Imamah (kepemimpinan umat Islam) itu ialah untuk meneruskan Khilafah Nubuwwah (kepemimpinan Nabi Saw.) dalam menjaga agama (Islam) dan mengatur semua urusan duniawi umat Islam.
2. Syarat-Syarat Khalifah
Karena Khalifah itu adalah pemimpin tertinggi umat Islam, bukan hanya pemimpin kelompok atau jamaah umat Islam tertentu, dan bertanggung jawab atas tegaknya ajaran Islam dan ururusan duniawi umat Islam, maka para ulama, baik salaf (generasi awal Islam) maupun khalaf (generasi setelahnya), telah menyepakati bahwa seorang Khalifah itu harus memiliki syarat atau kriteria yang sangat ketat. Syarat atau kriteria yang mereka jelaskan itu berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, Sunnah Rasul Saw. dan juga praktek sebagian Sahabat, khususnya Khulafaurrasyidin setelah Rasul Saw, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Menurut Syekh Muhammad Al-Hasan Addud Asy-Syangqiti, paling tidak ada sepuluh syarat atau kriteria yang harus terpenuhi oleh seorang Khalifah :
  1. Muslim. Tidak sah jika ia kafir, munafik atau diragukan kebersihan akidahnya.
  2. Laki-Laki. Tidak sah jika ia perempuan karena Rasul Saw bersabda : Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka menjadikan wanita sebagai pemimpin.
  3. Merdeka. Tidak sah jika ia budak, karena ia harus memimpin dirinya dan orang lain. Sedangkan budak tidak bebas memimpin dirinya, apalagi memimpin orang lain.
  4. Dewasa. Tidak sah jika anak-anak, kerena anak-anak itu belum mampu memahami dan memenej permasalahan.
  5. Sampai ke derajat Mujtahid. Kerena orang yang bodoh atau berilmu karena ikut-ikutan (taklid), tidak sah kepemimpinannya seperti yang dijelaskan Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Bar bahwa telah ada ijmak (konsensus) ulama bahwa tidak sah kepemimpinan tertinggi umat Islam jika tidak sampai ke derajat Mujtahid tentang Islam.
  6. Adil. Tidak sah jika ia zalim dan fasik, karena Allah menjelaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa janji kepemimpinan umat itu tidak (sah) bagi orang-orang yang zalim.
  7. Profesional (amanah dan kuat). Khilafah itu bukan tujuan, akan tetapi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang disyari’atkan seperti menegakkan agama Allah di atas muka bumi, menegakkan keadilan, menolong orang-orang yang yang dizalimi, memakmurkan bumi, memerangi kaum kafir, khususnya yang memerangi umat Islam dan berbagai tugas besar lainnya. Orang yang tidak mampu dan tidak kuat mengemban amanah tersebut tidak boleh diangkat menjadi Khalifah.
    Sebab itu, Imam Ibnu Badran, rahimahullah, menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin Muslim di negeri-negeri Islam yang menerapkan sistem kafir atau musyrik, tidaklah dianggap sebagai pemimpin umat Islam karena mereka tidak mampu memerangi musuh dan tidak pula mampu menegakkan syar’ait Islam dan bahkan tidak mampu melindungi orang-orang yang dizalimi dan seterusnya, kendatipun mereka secara formal memegang kendali kekuasaan seperti raja tau presiden. Lalu Ibnu Badran menjelaskan : Mana mungkin orang-orang seperti itu menjadi Khalifah, sedangkan mereka dalam tekanan Taghut (Sistem Jahiliyah) dalam semua aspek kehidupan?
  8. Sehat penglihatan, pendengaran dan lidahnya dan tidak lemah fisiknya. Orang yang cacat fisik atau lemah fisik tidak sah kepemimpinannya, karena bagaimana mungkin orang seperti itu mampu menjalankan tugas besar untuk kemaslahatan agama dan umatnya? Untuk dirinya saja memerlukan bantuan orang lain.
  9. Pemberani. Orang-orang pengecut tidak sah jadi Khalifah. Bagaimana mungkin orang pengecut itu memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama Allah dan urusan Islam dan umat Islam? Ini yang dijelaskan Umar Ibnul Khattab saat beliau berhaji : Dulu aku adalah pengembala onta bagi Khattab (ayahnya) di Dhajnan. Jika aku lambat, aku dipukuli, ia berkata : Anda telah menelantarkan (onta-onta) itu. Jika aku tergesa-gesa, ia pukul aku dan berkata : Anda tidak menjaganya dengan baik. Sekarang aku telah bebas merdeka di pagi dan di sore hari. Tidak ada lagi seorangpun yang aku takuti selain Allah.
  10. Dari suku Quraisy, yakni dari puak Fihir Bin Malik, Bin Nadhir, Bin Kinanah, Bin Khuzai’ah. Para ulama sepakat, syarat ini hanya berlaku jika memenuhi syarat-sayarat sebelumnya. Jika tidak terpenuhi, maka siapapun di antara umat ini yang memenuhi persayaratan, maka ia adalah yang paling berhak menjadi Khalifah.
3. Sistem Pemilihan Khalifah
Dalam sejarah umat Islam, khususnya sejak masa Khulafaurrasyidin sepeninggalan sistem Nubuwah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II yang berpusat di Istambul, Turkey tahun 1924, maka terdapat tiga sistem pemilihan Khalifah.
Pertama, dengan sistem Wilayatul ‘Ahd (penunjukan Khalifah sebelumnya), seperti yang terjadi pada Umar Ibnul Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar.
Kedua, dengan sistem syura, sebagaimana yang terjadi pada Khalifah Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan diangkat oleh Majlis Syura. Sedangkan anggota Majlis Syura itu haruslah orang-orang yang shaleh, faqih, wara’ (menjaga diri dari syubhat) dan berbagai sifat mulia lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan Khalifah itu tidak dibenarkan dengan cara demokrasi yang memberikan hak suara yang sama antara seorang ulama dan orang jahil, yang shaleh dengan penjahat dan seterusnya. Baik sistem pertama ataupun sistem kedua, persyaratan seorang Khalifah haruslah terpenuhi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kemudian, setelah sang Khalifah terpilih, maka umat wajib berbai’ah kepadanya.
Ketiga, dengan sistem kudeta (kekuatan) atau warisan, seperti yang terjadi pada sebagian Khalifah di zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Sistem ini jelas tidak sah karena bertentangan dengan banyak dalil Syar’i dan praktek Khulafaurrasyidin.
4. Tugas dan Kewajiban Khalifah
Sesungguhnya tugas dan kewajiban khalifah itu sangat berat. Wilayah kepemimpinannya bukan untuk sekelompok umat Islam tertentu, akan tetapi mecakup seluruh umat Islam sedunia. Cakupan kepemimpinannya bukan hanya pada urusan tertentu, seperti ibadah atau mu’amalah saja, akan tetapi mencakup penegakan semua sistem agama atau syari’ah dan managemen urusan duniawi umat. Tanggung jawabnya bukan hanya terhadap urusan dunia, akan tetapi mencakup urusan akhirat. Tugasnya bukan sebatas menjaga keamanan dalam negeri, akan tetapi juga mencakup hubungan luar negeri yang dapat melindungi umat Islam minoritas yang tinggal di negeri-negeri kafir. Kewajibannya bukan hanya sebatas memakmurkan dan membangun bumi negeri-negeri Islam, akan tetapi juga harus mampu meberikan rahmat bagi negeri-negeri non Muslim (rahmatan lil ‘alamin).
Secara umum, tugas Khalifah itu ialah :
  1. Tamkin Dinillah (menegakkan agama Allah) yang telah diridhai-Nya dengan menjadikannya sistem hidup dan perundangan-undangan dalam semua aspek kehidupan.
  2. Menciptakan keamanan bagi umat Islam dalam menjalankan agama Islam dari ancaman orang-orang kafir, baik yang berada dalam negeri Islam maupun yang di luar negeri Islam.
  3. Menegakkan sistem ibadah dan menjauhi sistem dan perbuatan syirik (QS.Annur : 55).
  4. Menerapkan undang-undang yang ada dalam Al-Qur’an, termasuk Sunnah Rasul Saw. dengan Haq dan adil, kendati terhadap diri, keluarga dan orang-orang terdekat sekalipun. (QS. Annisa’ : 135, Al-Maidah : 8 & 48, Shad : 22 & 26)
  5. Berjihad di jalan Allah.
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan :
  1. Khilafah dan Khalifah dua hal yang saling terkait. Keduanya merupakan ajaran Islam yang fundamental. Menegakkan Khilafah dan memilih Khalifah hukumnya wajib. Semua umat Islam berdosa selama keduanya belum terwujud.
  2. Khilafah belum terbentuk atau belum dianggap ada sebelum diangkatnya seorang Khallifah yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas, dipilih dan diangkat dengan sistem Syura umat Islam, dan mampu menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tertinggi umat Islam sedunia.
  3. Khilafah bukan tujuan, akan tetapi adalah alat untuk menegakkan dan menerapkan agama Allah secara menyeluruh dan orisinil. Allahu a’lamu bish-shawab.