Kamis, 27 November 2014

Wajah Polisi

 
Saya tak bisa memungkiri kalau pernah menyogok polisi.  Alasannya karena malas menghadiri urusan pengadilan, karena pelanggaran lalu lintas. Ya kadang saya salah melanggar marka jalan, atau berjalan di bahu jalan tol. Tapi kadang pula saya merasa  tidak rela, menganggap polisi hanya menjebak. Saya merasa tidak melanggar lampu merah, tapi masih disemprit.  Selain itu, saya berpikir, polisi juga mencari cari kesalahan.  Jika dia bisa mencegah orang memasuki jalan itu, kenapa dia tidak mencoba mencegah. Bukannya malah menunggu di balik tikungan jalan.

Saya juga mengaku salah, memberikan uang pelicin, ketika membuat perpanjangan SIM di polres. Tentu saja melalui calo calo yang berkeliaran dan menjadi perpanjangan tangan oknum polisi dibalik pengurusan SIM.
Ujung ujungnya adalah masalah kesejahteraan Polisi. 
Apalagi dulu ketika Polisi masih menjadi bagian ABRI, mereka mendapat alokasi budget yang paling rendah. Waktu SMA, saya melihat tentara pengawal Presiden Soeharto, menendang seorang Polisi hingga terjengkang, karena dianggap menghalangi jalan.
 
Setelah peristiwa Trisakti, Di rumah dinasnya, Jenderal Wiranto membentak ngamuk ngamuk ke Kapolri Dibyo Widodo. “ Lu serahin anggota “.  Polisi jadi angkatan paria, diantara angkatan lainnya.
Sejak kecil istilah ‘ prit jigo ‘ sudah jadi anekdot untuk oknum oknum Polisi. Konon juga razia jalanan akan semakin sering menjelang hari hari besar seperti Lebaran.  Tragis fenomena ini menjadi sebuah prejudice.

Sampai sekarangpun, bisik bisik tentang persekongkolan Polisi dengan bandar judi, cukong illegal logging, bandar narkoba, penyelundup dan berbagai macam praktek praktek korupsi.   Saya memiliki teman seorang Komisaris Polisi. Masih muda dan tinggal di pedalaman Sumatera Selatan yang banyak berhubungan dengan Hak pengelolaan hutan, pertambangan.  Sementara istrinya dan anak anaknya tinggal di Apartemen mahal di Jakarta. Saya kadang suka berpikir, berapa gaji dia, sehingga bisa membelikan mobil mewah untuk istrinya.
 
Ini baru perwira menengah. Bagaimana dengan Jenderal jenderalnya ?  Kisruh rekening gendut perwira Polisi, sekarang simulator yang menyeret Irjen Djoko Susilo menunjukan betapa Korps Kepolisian jadi bancaan. Saya jadi ingat wawancara Gus Dur setelah dia lengser dengan Greg Barton. Disebutkan bahwa Kapolri Surojo Bimantoro sebagai perwira Polisi yang paling korup pada saat itu.   Tentu kita juga masih ingat, mantan Kapolri lainnya, Rusdihardjo yang akhirnya menjadi terpidana kasus korupsi dana TKI di KBRI  di Malaysia.

Barang kali cuma dua Jenderal Polisi yang tidak perduli dengan uang. Pertama RS Soekanto dan Hoegeng Imam Santoso.  Kapolri Soekanto seorang penganut aliran Kebatinan diturunkan Bung Karno karena desakan perwira perwira Polisi lainnya yang tidak suka Kapolrinya lebih banyak mengurusi kebatinan daripada Kepolisian.  Sementara Hoegeng dengan track record integritas dan kejujurannya.
Ada suatu masa ketika Hoegeng  mendapat telpon dari istrinya, Bu Mery. “ Mas, ada tamu datang ke rumah yang meninggalkan banyak hadiah “.
 
Hoegeng bergegas pulang, dan menemukan sebuah peti besar dari kayu berisi mesin cuci, alat alat elektronik sampai pakaian pakaian mahal. Banyak sekali.  Kemudian oleh Hoegeng, peti itu ditutup dan dikembalikan ke alamat pengirimnya.

Pada masa kepemimpinannya, Hoegeng kerap dipusingkan oleh rekan rekan koleganya yang bermain dengan uang panas.  Bahkan beberapa jenderal jenderal Polisi meminta agar ia menghentikan penyidikan seorang tersangka wanita. Alasannya bahwa wanita itu sudah banyak membantu dalam hal materi ke Korps Polisi !
 
Belum lagi ia harus terbang ke Papua ( dulu Irian Jaya ), untuk menenangkan pemberontakan polisi polisi asli orang Irian yang berpangkat rendah. Di Ennarotali, Irian.  Pemberontakan ini dipicu karena, pejabat – termasuk pimpinan polisi lokal – yang bukan warga asli Irian, justru mengkorup bahan pakaian dan kebutuhan pokok lainnya yang mestinya dibagikan kepada rakyat di sana.

Setelah Polisi disapih dipisahkan dari struktur ABRI. Ia menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab ke Presiden.  Anggaran melimpah, dana dari Amerika digelontorkan untuk reformasi dan pelatihan Polisi.   Masalah keamanan dan teritorial yang tadinya menjadi monopoli tentara, tiba tiba masuk ke ruang lingkup Polisi.  Jadilah Korps ini menjadi incaran cukong.  Jaman berubah. Kini Akademi Kepolisian jadi salah satu rujukan favourite. Bahkan anak anak Jenderal Angkatan Daratpun lebih memilih masuk Akpol daripada Akmil.
 
Konglomerat pemilik modal tidak lagi melulu membina perwira perwira Angkatan Darat.   Sebuah karaoke dan klub kelas atas di Hotel Borobudur, Jakarta kerap berisi perwira perwira menengah Polisi melepas lelah dan bernyanyi nyanyi.  “ Sudah biasa Mas, Boss selalu mengundang mereka ke sini “. Bisik sang manajer klub.

Secara psikologi, Kepolisian ingin menunjukan Korps yang sejajar dengan TNI. Hingga mengundang kecemburuan Angkatan angkatan lain.  Di daerah daerah, Brimob tidak takut lagi untuk bentrok senjata dengan Angkatan Darat. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi jaman orba.
 
Polisi jadi lebih arogan..  Kalau dulu pemeriksaan di markas tentara bisa dengan metode menaruh jari kaki tersangka di bawah kursi penyidik yang mengetik berkas acara.  Ditataran bawah, polisi tak mau kalah. Pemeriksaaan mahasiswa  Universitas Pamulang yang terlibat bentrokan harus memakai bumbu kekerasan. Dipukul, disiksa.  Jangan heran kalau model Novie Amalia harus dibugili, dilecehkan dalam markas Polisi.
Sementara di tataran elit.  Para Jenderal sibuk menyerang mereka yang mengusik usik ‘ ketentraman ‘ dengan alasan l’esprit de corps.   Kasus rekening gendut menguap hilang begitu saja. Sekarang, walau sudah ada perintah Presiden agar KPK menjadi penyidik tunggal dalam kasus Simulator.  Polisi justru menetapkan tersangka baru. Komisaris Legimo Puji Sumarto sebagai orang yang dituduh memalsukan tanda tangan Irjen Djoko Susilo.  Gampang ditebak, ini bisa jadi skenario penyelamatan perwira tinggi.

Kini kembali kepada rakyat dan pembuat kebijakan.  Apa yang akan kita lakukan kepada Korps Kepolisian ini ? Ada yang meminta ditaruh di bawah Departemen Dalam Negeri, sehingga kontrol dilakukan oleh Gubernur atau Kepala Daerah.   Ada juga suara yang  meminta reformasi total seandainya masih tetap dibawah Presiden.
 
Kebosanan rakyat melihat Polisi arogan dan korup hampir sampai titik didih. Ucapan Wakapolri, Jangan munafik gaji polisi tidak cukup. Jelas mengusik perasaan. Terlebih dengan kedudukannya menjadi pembina penggemar motor gede milik orang orang kaya.

Saya tiba tiba teringat ucapan Kapolri Hoegeng.  Bahwa ada 2 citra yang harus ditegakan pimpinan Kepolisian secara bersamaan. Yakni, citra diri Polisi terhadap dirinya sendiri, kehormatannya yang berkaitan dengan citra sosial polisi sesuai dengan hakikat sosial dirinya di masyarakat.
Kalau sudah begini siapa yang akan mengatakan, apakah Polisi jaman sekarang masih memiliki kehormatan itu ?

0 komentar:

Posting Komentar