Kamis, 29 Januari 2015

BG Mangkir, Pengusutan Kasus Rekening Gendut Jadi Lebih Makan Waktu

Fajar Pratama - detikNews

 
Jakarta - Pihak Komjen Budi Gunawan memastikan tak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka kasus rekening gendut. Sikap Komjen Budi ini hanya akan membuat durasi penyidikan kasus yang 'menyandera'-nya ini semakin lama saja.

Seperti diketahui, karena terjerat kasus ini, langkah Komjen Budi yang merupakan calon tunggal Kapolri, harus terganjal. Meski sudah mengantongi persetujuan DPR, pelantikan Budi sebagai Kapolri ditunda sampai batas waktu yang tak pasti. Presiden Joko Widodo menyampaikan penundaan dilakukan terkait Komjen Budi yang tengah menghadapi proses hukum di KPK.

Nah, terkait dengan kasus yang menjeratnya, Komjen Budi hari ini dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun pengacara Komjen Budi memastikan Kepala Lemdikpol Polri itu tak akan memenuhi panggilan dengan menyebutkan alasan yang sifatnya administratif terkait surat panggilan.

Sedangkan KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Artinya, status seseorang sebagai tersangka di KPK tidak bisa gugur kecuali melalui mekanisme persidangan.

Dengan kata lain, jika Komjen Budi benar-benar menolak datang, maka masa waktu dia menyandang status tersangka akan lebih lama. Karena berkas penyidikan tidak kunjung rampung sehingga proses penuntutan urung dapat dilakukan.

Padahal kasus Komjen Budi ini merupakan prioritas KPK. Lembaga antikorupsi ini sengaja mempercepat kasus ini karena mendapatkan sorotan publik.

Selain menjadi prioritas, Ketua KPK Abraham Samad juga menyampaikan bahwa kasus rekening gendut Komjen Budi ini bukan kasus yang sulit. "Kasus BG bukanlah kasus rumit, bukan kasus yang sulit diselesaikan seperti kasus Bank Century atau kejahatan pajak atau BLBI. Istilah Dirdik (Direktur Penyidikan-red), kasus suap atau gratifikasi itu sama level dengan kasus yang biasa kita dengan tipiring, tindak pidana ringan," ucap Samad ketika menemui para relawan itu di kantornya, Jl HR Rasuna Sahid, Jakarta Selatan, Kamis (15/1/2015) lalu.

Samad menyebut kasus ini menjadi besar sebab melibatkan orang yang mempunyai kekuasaan tinggi pula. Apalagi Komjen Budi saat ini tengah dicalonkan sebagai Kapolri pengganti Jenderal Sutarman.

"Kenapa dia jadi besar, karena tersangkanya juga besar, terus besar kekuasaannya. Itu yang membuat kasus ini seolah-olah menjadi kasus yang kadang-kadang kita dengar white collar crime. Ini kejahatan ringan, yang biasa-biasa saja, tradisional," urai Samad.


Ikuti berbagai berita menarik hari ini di program "Reportase Sore" TRANS TV yang tayang Senin sampai Jumat pukul 15.30 WIB

(fjr/fjr)

"Apa Mau Polri Dipimpin Seorang Tersangka Korupsi?"



fidel ali Barisan para Jendral di Polri
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menduga penetapan Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dianggap sebagai perusak citra institusi Polri. Meski demikian, Ikrar mengingatkan kepada institusi tersebut agar menyadari bahwa calon pemimpin mereka adalah seorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
         "Pertanyaannya, apa mau Polri dipimpin oleh orang yang jadi tersangka?" ujar Ikrar, saat ditemui seusai diskusi "100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK, di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (29/1/2015).
Ikrar mengakui penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka di ujung waktu penunjukannya sebagai kepala Polri sebenarnya menyangkut kehormatan dan martabat institusi Polri itu sendiri. Namun, dalam hal ini, sebut Ikrar, yang harus diingat adalah, belum pernah ada penetapan tersangka oleh KPK yang gagal dan dibatalkan dalam persidangan.
         "Tidak ada yang bebas dari pengadilan Tipikor ketika sudah jadi tersangka KPK. Tidak ada pernah ada SP3. Paling perdebatan cuma soal masa tahanan saja," kata Ikrar.
Untuk itu, institusi Polri sebaiknya menerima keputusan Presiden Joko Widodo, apabila akhirnya Budi Gunawan batal dilantik sebagai kepala Polri. Apalagi, sebut Ikrar, kemungkinan rekomendasi yang dikeluarkan Dewan Pertimbangan Presiden dan tim independen yang dibentuk Presiden mengenai KPK dan Polri adalah pembatalan pelantikan Budi Gunawan.

Rabu, 28 Januari 2015

"Save KPK! Sehatkan Polri! "

 

JAKARTA, KOMPAS.com — Massa yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat dan mahasiswa, Rabu (28/1/2015), melakukan aksi longmarch, memperingati 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

      Dalam aksi tersebut, massa mendesak Presiden segera menyelesaikan kisruh yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.
Menurut koordinator aksi, Alghiffari, aksi tersebut memang sengaja dilakukan pada momentum 100 hari pemerintahan Jokowi-JK.
     Dalam aksinya, mereka membawa spanduk dengan berbagai tulisan, di antaranya "Save KPK! Sehatkan Polri! Jokowi di Pihak Siapa?"; "Batalkan Pelantikan Budi Gunawan"; "Dukung KPK dan Polri yang bersih dan berpihak pada rakyat".
"Aksi ini bertujuan untuk memperjelas, apakah Jokowi memang mendukung 'Save KPK' atau tidak. Kedua, kami mendorong penghapusan kriminalisasi KPK dan menolak pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri," ujar Alghiffari di sela-sela aksi unjuk rasa.
Sementara itu, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI Dhuha Ramadhani mengatakan, para mahasiswa yang ikut dalam aksi ini sepakat bahwa pemberantasan korupsi harus terus dilakukan dan semakin diperkuat.
Ia mengatakan, KPK memang lembaga yang memiliki tugas utama untuk memberantas korupsi. Namun, pihaknya tetap percaya bahwa peran Polri dan kejaksaan juga tidak bisa disepelekan.
       Dhuha menambahkan, KPK sebagai institusi harus dilindungi, tetapi oknum-oknum di KPK yang memang terbukti melakukan pelanggaran hukum harus tetap diusut sampai tuntas. Begitu juga apabila ada petinggi Polri yang terindikasi korupsi, maka kasusnya juga harus diusut sampai tuntas.
      "Kami menentang kriminalisasi dan pelemahan KPK. Kami juga meminta proses hukum bagi pimpinan KPK dan petinggi Polri dilakukan secara wajar sesuai aturan yang berlaku," kata Dhuha.
        Dalam aksi ini, massa yang berkumpul di Patung Kuda Arjuna Wijaya, Thamrin, kemudian melakukan aksi longmarch ke depan Istana Merdeka.
Selain diikuti oleh mahasiswa, aksi ini juga diikuti oleh ormas buruh dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, seperti LBH Jakarta, Kontras, P3I, KSN, PPGI, dan ELSAM.
Presiden sebelumnya mengaku akan terus mengawasi dan mengawal proses hukum kasus calon kepala Polri Komjen Budi Gunawan di KPK dan kasus Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Bareskrim Polri. (Baca: Jokowi Akan Awasi dan Kawal Kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto)
      Jokowi mengatakan, semua pihak sepakat agar KPK dan Polri maupun lembaga penegak hukum lain menjaga wibawa sebagai institusi penegak hukum. Oleh karena itu, kata Jokowi, jangan ada kriminalisasi dalam proses hukum di kedua institusi. Proses hukum juga harus dibuat transparan.
"Agar proses hukum dapat berjalan baik, jangan ada intervensi dari siapa pun. Tapi, saya akan tetap mengawasi dan mengawal," kata Jokowi.
.

Dari 10 Saksi Kasus Budi Gunawan, Hanya Satu yang Penuhi Panggilan KPK



KOMPAS.com/ICHA RASTIKA Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga saksi dalam penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Komisaris Jenderal Budi Gunawan tidak memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada hari ini, Rabu (28/1/2015). Sedianya, tiga orang yang dijadwalkan menjalani pemeriksaan adalah Widyaiswara Madya Sekolah Staf dan Pimpinan Polri Brigjen (Pol) Budi Hartono Untung, anggota Polres Bogor Brigadir Triyono, dan Liliek Hartati dari pihak swasta. Ketiganya tak memenuhi panggilan tanpa memberikan keterangan.

"Tidak hadir dan tanpa memberikan keterangan," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, Rabu (28/1/2015).

Dengan demikian, hanya satu dari sepuluh saksi Budi Gunawan yang memenuhi panggilan penyidik KPK.

Sebelumnya, penyidik telah memanggil tujuh saksi dari anggota Polri maupun purnawirawan. Mereka adalah Widyaiswara Utama Sekolah Staf dan Pimpinan Polri Inspektur Jenderal (Purn) Syahtria Sitepu, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Herry Prastowo, dosen utama Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Lembaga Pendidikan Polisi Komisaris Besar (Pol) Ibnu Isticha, Kepala Polda Kalimantan Timur Irjen (Pol) Andayono, Wakil Kepala Polres Jombang Komisaris Polisi Sumardji, purnawirawan Polri Brigjen Polisi (Purn) Heru Purwanto, dan Aiptu Revindo Taufik Gunawan Siahaan. Dari kesepuluh saksi itu, hanya Syahtria Sitepu yang memenuhi panggilan penyidik.

KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. KPK menjerat Budi dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b, Pasal 5 ayat 2 serta Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Budi terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup jika terbukti melanggar pasal-pasal itu.

Budi Gunawan sedianya akan dilantik menjadi kepala Polri pengganti Jenderal Pol Sutarman setelah mendapat persetujuan DPR. Namun, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pelantikan tersebut hingga waktu yang tidak ditentukan.

Disangka Berafiliasi dengan PDI-P, Budi Gunawan Dilaporkan ke Propam

 
JAKARTA, KOMPAS.com — Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi) akan melaporkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan kepada Divisi Propam Polri, Kamis (29/1/2015) siang. Budi dilaporkan atas sangkaan berafiliasi dengan partai politik, PDI Perjuangan.

Salah satu anggota Faksi, Petrus Selestinus, menjelaskan, pihaknya memiliki bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran Peraturan Disiplin Polri dan Kode Etik Profesi yang dilakukan Budi Gunawan.
"Aktivitas Komjen Budi Gunawan dalam tim sukses capres dan cawapres Jokowi-JK, apalagi dia terlibat penyusunan visi dan misi pasangan itu di bidang pertahanan dan keamanan," ujar Petrus kepada Kompas.com, Kamis siang.

Para advokat juga akan meminta Divisi Propam untuk menelusuri kabar aliran dana dari Budi ke salah satu politisi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan. Petrus heran mengapa Provos Polri tidak menelusuri kabar tersebut, padahal kabar itu telah dikupas habis-habisan oleh media massa.
Jika benar, kata dia, aktivitas Budi itu adalah salah satu bentuk politik praktis yang bertentangan dengan Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
"Kami berharap Provos atau Irwasum dapat menyelidiki atau mengklarifikasi laporan kami. Salah satunya bisa dengan memanggil petinggi PDI-P untuk mengorek, sejauh mana keterlibatan BG dalam politik praktis," ujar dia.

Sebelum melaporkan ke Provos, Petrus dan kawan-kawan dijadwalkan bertemu Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti. Mereka akan menyampaikan bukti-bukti tersebut di depan pelaksana jabatan kepala Polri sementara itu.

Trimedya sempat mengakui bahwa Budi terlibat dalam menyusun visi dan misi Jokowi dalam bidang pertahanan dan keamanan. (Baca: Politisi PDI-P Sebut Budi Gunawan Ikut Susun Visi Misi Hankam)
"Jokowi pasti kenal karena dalam aktivitas partai, misalnya ultah Bu Mega, Lebaran ini. Dia (Budi Gunawan) secara emosional ada keterikatan, termasuk waktu susun visi misi dalam hankam, beliau dilibatkan," kata Trimedya.

Partai politik terus mendesak Presiden Joko Widodo segera melantik Budi sebagai kepala Polri. Di sisi lain, publik juga memberi dukungan kepada Presiden untuk tidak melantik tersangka kasus korupsi tersebut. Parpol pendukung Jokowi dikritik. (Baca: #RakyatDukungJokowi Ramai di Twitter, "Meme" Tolak Budi Gunawan Beredar)

Sim Salabim Christopher Negatif Narkoba




JAKARTA, KOMPAS.com — Polres Metro Jakarta Selatan mengungkap hasil pemeriksaan urine oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap pengemudi Mitsubishi Outlander yang menyebabkan kecelakaan maut di Pondok Indah, Christopher Daniel Sjafief (23). Hasilnya adalah, pemuda kelahiran Singapura itu negatif menggunakan narkoba.

"Kemarin sudah dilakukan pemeriksaan tes sampel urine oleh BNN. Hasilnya yang dilakukan terhadap Christopher adalah negatif," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat, Selasa (27/1/2015) di Jakarta.

Selain itu, tes darah yang dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik Polri juga menunjukkan hasil serupa. "Hasil tes darah dari Puslabfor Polri juga menunjukkan, Christopher negatif (menggunakan narkoba)," kata Wahyu. [Baca: Pengemudi Outlander Positif Gunakan Narkoba Jenis LSD]

Dia mengungkap bahwa hasil tes sampel urine dan darah yang dilakukan terhadap teman Christopher sekaligus saksi dari kecelakaan beruntun di Jalan Sultan Iskandar Muda yang menewaskan empat orang itu, Muhammad Ali Husni Riza (22), juga negatif. [Baca: Christopher dan Ali Gunakan Narkoba untuk "Have Fun"]

Hasil ini menggantikan pernyataan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Martinus Sitompul. Ia sebelumnya mengatakan, baik Christopher maupun Ali sama-sama menggunakan narkoba jenis lysergic acid diethylamide (LSD).

"Pernyataan itu hanya berdasarkan pengakuan tersangka, jadi itu hanya kesimpulan sementara. Namun, penyidik bukan mengacu pada pengakuan, melainkan berdasarkan bukti yang resmi dari BNN dan Puslabfor Polri," ucap Wahyu.

Karena pemeriksaan dari BNN dan Puslabfor yang sudah didapatkan Christopher negatif menggunakan narkoba, maka dapat dikatakan kasus ini merupakan kecelakaan lalu lintas murni. Tidak ada indikasi dengan narkoba atau zat lainnya. [Baca: Dinyatakan Positif Narkoba, Pemilik Outlander Diperiksa Intensif Polisi]

Maka, Christopher dapat dikenakan Undang-Undang Nomor 22 Nomor 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 310 Ayat 2 dan 4 juncto Pasal 312 dan Pasal 311 Ayat 3 dan 4 dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun.

Kamis, 22 Januari 2015

Setelah Abraham Samad, Kini Bambang Widjojanto yang Diserang

Jakarta - Pimpinan KPK mendapat serangan beruntun dalam dua hari terakhir. Setelah Abraham Samad, kini giliran Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Yang menarik, dua orang ini adalah pimpinan yang mengumumkan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.

Samad dan Bambang duduk di kursi konferensi pers di gedung KPK pada Selasa (13/1/2015) siang. Saat itu keduanya mengumumkan informasi yang mengejutkan: menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut.

Padahal Komjen Budi adalah calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo. Dia saat itu sedang akan menghadapi fit and proper test di DPR.

Tak sampai 10 hari kemudian, pada Kamis (22/1) kemarin muncul serangan untuk Abraham Samad. Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menuding Samad pernah melakukan enam kali pertemuan dengan dia, pada masa pencapresan Joko Widodo.

Menurut Hasto yang baru sebatas menuding tanpa memberikan bukti, Samad ingin mengajukan diri sebagai Bakal Cawapres Joko Widodo. Pertemuan itu, jika benar ada, maka melanggar kode etik pimpinan KPK. Pihak KPK mempersilakan Hasto untuk menyerahkan bukti pertemuan itu.

Sehari berselang pada Jumat (23/1) hari ini, giliran Bambang Widjojanto yang diserang. Tak main-main, Bambang diangkut oleh petugas yang mengaku dari Bareskrim Polri saat tengah mengantar anaknya ke sekolah di kawasan Depok.

Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti menyangkal ada penangkapan terhadap Bambang. Lalu apa motif penangkapan? Siapa yang menangkap Bambang pun sampai saat ini masih simpang siur.